Makalah
PENDIDIKAN SEPANJANG HAYAT DAN
PERMASALAHAN PENDIDIKAN
DISUSUN
OLEH
MAHRIFAT ISMAIL
451417011
KELAS A
PRODI
PENDIDIKAN GEOGRAFI
JURUSAN
ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN IPA
UNIVERSITAS
NEGERI GORONTALO
2017
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.
Harapan
saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah
ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL……………………………………………………….
KATA
PENGANTAR……………………………………………………..
DAFTAR
ISI………………………………………………………………..
BAB
I PENDAHULUAN…………………………………………………
A.
Latar
belakang…………………………………………..
B.
Rumusan
masalah………………………………………
C.
Tujuan
penulisa…………………………………………..
BAB
II PEMBAHASAN…………………………………………..
A.
Pendidikan
sepanjang hayat…………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pendidikan pada dasarnya adalah proses
komunikasi yang didalamnya mengandung transformasi pengetahuan, nilai-nilai dan
ketrampilan-ketrampilan, di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung
sepanjang hayat, dari generasi ke generasi (Dwi Siswoyo, 2008: 25). Dari
pengertian di atas dapat diartikan bahwa hampir dari seluruh kegiatan manusia
yang bersifat positif dapat dianggap bahwa mereka telah melakukan proses
pendidikan. Tujuan pendidikan secara luas antara lain adalah untuk meningkatkan
kecerdasan, membentuk manusia yang berkualitas, terampil, mandiri, inovatif,
dan dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Oleh karena itu, pendidikan
sangat diperlukan oleh manusia untuk dapat melangsungkan kehidupan sebagai
makhluk individu, sosial dan beragama. Di sinilah peran lembaga pendidikan baik
formal maupun non formal untuk membantu masyarakat dalam mewujudkan tujuan
pendidikan yang telah disampaikan di atas, melalui pendidikan sepanjang hayat
manusia diharapkan mampu menjadi manusia yang terdidik.
Salah satu faktor rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya
para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan
kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki
siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah
dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya
memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak
kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan
yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu
harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para
pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan
pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih
parah lagi, pendidikan tidak mampu
menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta
dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya
pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri,
padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan.
Berdasarkan analisa dari badan pendidikan
dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari
14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri
agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu.
Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42
negara berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada
diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak
serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.
B. Rumusan
masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan pendidikan sepanjang hayat?
2. Apa
perbedaan pendidikan dinegara berkembang dengan di Negara maju?
3. Apa
saja permasalahan pendidikan di Indonesia?
4. Bagaimana
cara penyelesaian permasalahan pendidikan di Indonesia?
C. Tujuan
penulisan
1. Agar
mahasiswa dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan pendidikan sepanjang hayat
2. Agar
mahasiswa dapat mengetahui perbedaan system pendidikan yang ada dinegara
berkembang dengan pendidikan dinegara maju
3. Agar
mahasiswa dapat mengetahui permasalahan pendidikan yang ada di Indonesia
4. Agar
mahasiswa dapat mengetahui cara penyelesaian masalah pendidikan yang ada di
Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDIDIKAN
SEPANJANG HAYAT
Pendidikan sepanjang hayat (life long
education)
adalah sebuah sistem pendidikan yang dilakukan oleh manusia ketika lahir sampai
meninggal dunia. Pendidikan sepanjang hayat merupakan fenomena yang sudah tidak
asing lagi. Dimana tahap-tahap pelaksanaannya adalah harus ada : motivasi,
perhatian dan pelajaran, menerima dan mengingat, reproduksi, generalisasi,
menerapkan apa yang telah diajarkan serta umpan balik. Dimana pendidikan
sepanjang hayat ini juga akan mampu membentuk kemandirian dari seseorang, salah
satunya dengan pendidikan non formal, yang mampu membangkitkan daya pikir,
berbuat positif dari, oleh dan untuk dirinya sendiri serta lingkungan. Dalam
upaya memajukan pendidikan di Indonesia UNESCO mengeluarkan empat pilar yang
dapat menopang pendidikan yang ada di Indonesia ini. Keempat pilar tersebut
adalah learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live
together. Dimana Untuk mengimplementasikan “learning to know” (belajar untuk
mengetahui), Guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Di
samping itu guru dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog
bagi siswanya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa.
Sekolah sebagai wadah masyarakat
belajar seyogjanya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan keterampilan
yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” (belajar untuk
melakukan sesuatu) dapat terealisasi. Walau sesungguhnya bakat dan minat anak
dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat
juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama bahwa
keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan
keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan semata.
Pilar ketiga yang dicanangkan Unesco
adalah “learning to be” (belajar untuk menjadi seseorang). Hal ini erat sekali
kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi
anak serta kondisi lingkungannya. Misal : bagi siswa yang agresif, akan
menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan
sebaliknya bagi siswa yang pasif, peran guru sebagai kompas penunjuk arah
sekaligus menjadi fasilitator sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan
potensi diri siswa secara utuh dan maksimal.
Terjadinya
proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama),
pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka,
memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah. Kondisi seperti inilah yang
memungkinkan tumbuhnya sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama.
Dengan melakukan empat pilar yang telah dikeluarkan oleh UNESCO, untuk itu
semua pendidikan di Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas
kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral.
Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian maka pada gilirannya
akan menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat
dunia. Mengarah ke point ketiga, “Learning To Be” belajar
untuk menjadi seseorang. Hal ini sangat berkaitan dengan bakat dan minat yang
dimiliki seseorang. Jika seseorang memiliki bakat yang lebih, dalam suatu
bidang tidak akan mampu berkembang apabila tanpa ada dukungan dan fasilitas
baik dari guru itu sendiri dan pengaruh lingkungan luar. Ini dimaksudkan agar
seorang siswa mampu mewujudkan dan mengembangkan bakatnya sesuai dengan
harapannya. Jadi tanpa peranan guru sebagai fasilitator maka pilar ketiga yang
dicetuskan UNESCO tidak akan terlaksana dengan baik. Begitu juga dengan poin
yang keempat “Learning to Live Together” belajar untuk menjalani kehidupan
bersama. Maksud dari point keempat ini adalah bertujuan untuk mewujudkan
masyarakat yang aman tentram, dan saling menghargai antar agama, suku, ras, dan
budaya dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini toleransi antar
sesama manusia sangat diperlukan, karena umat manusia itu ditakdirkan untuk
menjalani kehidupan bersama-sama dan tidak dapat menjalani kehidupan itu
sendiri.
1. Pengertian
pendidikan sepanjang hayat
Pendidikan sepanjang hayat (life long
education)
adalah sebuah sistem pendidikan yang dilakukann oleh manusia ketika lahir
sampai meninggal dunia. Pendidikan sepanjang hayat merupakan fenomena yang
sudah tidak asing lagi. Melalui pendidikan sepanjang hayat, manusia selalu
belajar melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari
atau pengalaman yang telah dialami. Konsep pendidikan sepanjang hayat tidak
mengenal batas usia, semua manusia baik yang masih kecil hingga lanjut usia
tetap bisa menjadi peserta didik, karena cara belajar sepanjang hayat dapat
dilakukan dimanapun, kapanpun, dan oleh siapapun.
Menurut pendapat Sudjana (2001: 217-218) pendidikan
sepanjang hayat harus didasarkan atas prinsip-prinsip pendidikan di bawah ini :
a.
Pendidikan hanya akan berakhir apabila manusia telah
meninggal dunia.
b.
Pendidikan sepanjang hayat merupakan motivasi yang kuat bagi
peserta didik untuk merencanakan dan melakukan kegiatan belajar secara
terorganisi dan sistimatis.
c.
Kegiatan belajar bertujuan untuk mempeoleh, memperbaharui,
dan meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang telah dimiliki.
d.
Pendidikan memiliki tujuan-tujuan berangkai dalam memenuhi
kebutuhan belajar dan dalam mengembangkan kepuasan diri setiap manusia yang
melakukan kegiatan belajar.
e.
Perolehan pendidikan merupakan prasyarat bagi perkembangan
kehidupan manusia, baik untuk meningkatkan kemampuannya, agar manusia selalu
melakukan kegiatan belajar guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Wadah
pendidikan sepanjang hayat
Pendidikan sepanjang hayat berwadahkan disemua lembaga
pendidikan, sumber-sumber informasi, sesuai dengan kepentingan perorangan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Philips H.
combs mengklasifikasikan pendidikan kedalam tiga bagian :
a. Pendidukan
informal (pendidikan luar sekolah yang tidak di lembagaan)
Pendidikan luar sekolah yang tidak dilembagaan adalah proses pendidikan
yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak, pada
umumnya tidak teratur dan tidak sistematis, sejak orang lahir sampai mati.
Seperti di dalam keluarga, tetangga, pekerjaan, hiburan, pasar, atau dalam
pergaulan sehari-hari, dll.
b. pendidikan
sekolah
Pendidikan sekolah adalah pendidikan di sekolah, yang
teratur, sistematis, mempunyai jenjang dan yang di bagi dalam waktu-waktu
tertentu yang berlangsung dari taman kanak kanak sampai perguruan tinggi.
c. Pendidikan luar sekolah yang dilembagaan
Pendidikan luar sekolah yang dilembagakan adalah semua
bentuk pendidikan yang yang
diselenggarakan dengan sengaja, tertib, terarah dan berencana di luar
kegiatan persekolahan. Dalam hal ini,
tentang pelajar , fasilitas, cara penyampaian, dan waktu yang dipakai, serta
komponen-komponen lainnya disesuaikan dengan keadaan peserta, atau didik supaya
mendapatkan hasil yang memuaskan.
3. Ragam
pendidikan sepanjang hayat
a.
Pendidikan untuk mempertahankan pemenuhan kebutuhan pokok
dalam hidup.
b.
Pendidikan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan bidang
pekerjaan.
c.
Pendidikan untuk mengembangkan diri.
d.
Pendidikan untuk pemenuhan kebutuhan mental dan
rekreasional.
4. Perbedaan
pendidikan dinegara maju dengan dinegara berkembang
a.
System
pendidikan dinegara maju
1. Amerika
serikat (US)
Karakteristik
utama sistem pendidikan Amerika Serikat adalah berkarakter desentralisasi.
Pemerintah federal, negara bagian, dan pemerintah daerah memiliki aturan dan
tanggung jawab administrai masing-masing yang sangat jelas. Amerika Serikat
tidak mempunyai sistem pendidikan yang terpusat atau yang bersifat nasional.
Namun bukan berarti pemerintah federal tidak memberikan arah dan pengaruhnya
terhadap masalah pendidikan. Badan Legislatif, Judikatif dan Eksekutif fedaral
sangat aktif dalam proses pembuatan keputusan mengenai pendidikan.
Pengangkatan
guru adalah wewenang pemerintah negara bagian. Masing- masing negara bagian
mempunyai ketentuan sendiri mengenai persyaratan untuk memperoleh sertifikat
mengajar. Ada negara bagian yang meminta persyaratan mengajar, seperti
menguasai tentang penyuluhan narkoba, menguasai bidang komputer dan sebagainya.
Ada pula negara bagian yang memberikan sertifikat mengajar untuk lulusan
sarjana (S.1), tahap sertifikat ke dua untuk lulusan Magister (S.2). Kemudian
memberikan ujian tertulis dan praktek mengajar sebagai syarat pengangatan guru.
Negara bagian juga mengeluarkan sertifikat untuk staf administrasi
sekolah-kepala sekolah dan kakanwilpendidik.
Tentang
kurikulum dan metodologi pengajaran di Amerika Serikat, pemikir pendidik selalu
mengembangkan inovasi baru. Maka muncullah kurikulum terintegrasi (integrated
curriculum), metode mengajar yag berpusat pada siswa (student centered teaching
method), pengajaran atas dasar kemampuan dan minat individu (individualized
instruction), dan sekolah alternatif.
Amerika Serikat adalah
negara adikuasa dari beberapa aspek. Pendidikan di Amerika Serikat pun juga
tergolong maju. Terbukti banyak universitas dan perguruan tinggi di AS yang
menjadi tujuan favorit untuk melanjutkan studi. Universitas itu antara lain
UCLA, Boston College, Yale University, Harvard University dan lain-lain.
Namun pendidikan di Amerika
Serikat juga tidak terlepas dari masalah. Washington Post pada tahun 2011
mengemukakan ada dua problem yang terjadi pada pendidikan di Amerika Serikat.
Pertama, sesuai laporan dari Organization of Economic Cooperation and
Development (OECD), menunjukkan adanya penurunan tingkat lulusan pemuda dewasa
pada perguruan tinggi. Sedangkan yang kedua adalah meningkatnya jumlah pinjaman
para mahasiswa yang melebihi batas tempo.
Menurut Dr. James M.
Lindsay, ada beberapa sebab yang menjadikan turunnya tingkat kelulusan di
perguruan tinggi serta meningkatnya jumlah pinjaman yang dilakukan oleh
mahasiswa. Salah satu penyebabnya adalah semakin meningkatnya biaya pendidikan
di perguruan tinggi. Banyak mahasiswa yang membiayai kuliah dengan mengandalkan
pinjaman sebagai investasi dalam bentuk human capital. Namun apabila jumlah
pinjaman tersebut meningkat tajam serta banyak yang habis jatuh temponya maka
juga akan menjadi masalah.
2. Inggris
(UK)
a)
Sistem
Pendidikan di Inggris
Inggris
dikenal dengan standar pendidikannya yang tinggi, sistem pendidikan Inggris
telah banyak mempengaruhi banyak negara dan adalah rumah untuk beberapa
universitas terkenal.
b) Sekolah Dasar
Pendidikan
wajib di Inggris dimulai dari usia 5 tahun dengan sekolah dasar. Siswa naik
dari kelas 1 sampai 6 tanpa ujian, meskipun kemampuan mereka diuji di usia 7
tahun. Penekanan ada pada belajar secara praktikal dibandingkan menghafal.
Siswa belajar mata pelajaran inti seperti Inggris, matematika dan sains,
juga pelajaran dasar seperti sejarah, geografi, musik, seni dan olahraga.
c) Sekolah Menengah Atas
Siswa
memulai sekolah menengah pada usia 11 tahun, dimana menjadi kewajiban untuk
lima tahun berikutnya. Di setiap jenjangnya, siswa memperdalam pengetahuan
mereka pada mata pelajaran inti dan ditambah setidaknya 1 bahasa asing.Di tahun
ke-4, mereka mulai bersiap untuk mengikuti ujian-ujian yang disebut General
Certificate of Secondary Education atau GCSE. Siswa akan diuji di 9 atau 10
topik GCSE yang mereka pilih.
Setelah
menyelesaikan ujian GCSE, siswa sekolah menengah dapat meninggalkan sekolah
untuk bekerja, mengikuti program training di sekolah kejuruan atau teknik, atau
melanjutkan 2 tahun lagi untuk menyiapkan diri bagi ujian masuk
universitas, yang dikenal dengan "A-Levels." Secara umum, siswa yang
ingin masuk ke universitas akan belajar 3-4 subyek untuk ujian A-Levels. Ini
kerap dilakukan di sekolah yang dinamakan Sixth Form Colleges.Makin tinggi
nilai ujian A-Levels, makin baik peluang siswa untuk masuk ke universitas
pilihannya.
d) Program Sarjana
Ditingkat
sarjana, siswa di Inggris dapat memilih jurusan "art" dan
"sciences".Program biasanya berlangsung selama tiga tahun dimana
selama itu siswa menyelesaikan pelajaran dan tutorial di bidang masing-masing.
Siswa yang akan lulus biasanya harus mengikuti ujian akhir. Syarat penerimaan
bagi siswa internasional termasuk kefasihan bahasa Inggris (min IELTS 6.0),
tambahan 1 tahun sekolah menengah, dikenal dengan University Foundation Year
atau nilai A-Level.
e) Pasca Sarjana atau PhD
Pelajaran
universitas dapat diteruskan ke tingkat pasca sarjana.Gelas pasca sarjana
tradisional biasanya dibidang "Arts" (MA) atau "Sciences"
(MSc). Gelar pasca sarjana yang makin populer adalah Masters in Business
Administraion (MBA). Program Master berlangsung selama satu sampai dua tahun
dan mengharuskan ujian dan tesis untuk syarat kelulusan. Bagi program tertentu,
pengalaman dibidang riset dan bekerja dibutuhkan untuk mengikuti program
doktoral, atau PhD, yang dapat berlangsung selama empat atau lima tahun di
sekolah dan riset serta disertasi.
Ada
beberapa masalah pendidikan di Inggris yang cukup mendapatkan perhatian dari
kalangan pemerhati pendidikan di sana. Persatuan Guru Nasional Inggris dan
Walesmengemukakan ada beberapa masalah kependidikan yang dihadapi oleh
pendidikan Inggris. Masalah-masalah tersebut antara lain :
Ø The relationship between education
and employment and preparation for the transition from school to work.
Masyarakat
Inggris berpandangan bahwa tugas pokok sekolah adalah membantu siswa memecahkan
masalah.Termasuk di dalamnya yaitu membantu siswa memecahkan masalah transisi
dari sekolah menuju dunia kerja.Masyarakat Inggris menghendaki adanya fungsi
nyata dari lulusan suatu sekolah dalam arti bagaimana lulusan tersebut dapat
didayagunakan dalam dunia kerja.Mereka menginginkan adanya hubungan antara
lingkungan pendidikan dengan dunia kerja.Oleh karenanya, sekolah diharapkan
dapat menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan, holding company
dan sebagainya.
Ø A commitment to life-longeducation
Pendidikan
di Inggris tengah berupaya agar prinsip pendidikan sepanjang hayat (long
life education) dapat terlaksana.Upaya ini dilakukan agar mereka yang sudah
berusia lanjut juga terus mendapatkan pendidikan. Hal ini dikarenakan ada
sebagian orang-orang lanjut usia yang pada masa kanak-kanaknya kurang mengenyam
pendidikan. Dengan adanya usaha ini diharapkan adanya pemerataan pendidikan
baik muda maupun tua sesuai dengan prinsip long life education.
Ø The expansion of educational
facilities
Salah satu
resiko dari pengembangan sarana pendidikan adalah biaya yang dikeluarkan akan
semakin banyak. Apalagi di era arus informasi dan teknologi yang semakin hari
semakin berkembang dengan cepat sehingga membutuhkan sarana pendidikan yang
dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.Hal ini agar pendidikan Inggris
tidak ketinggalan zaman.
Dampak
dari pengembangan sarana pendidikan berteknologi tinggi, akan mengurangi
tenaga kerja guru itu sendiri. Akibatnya banyak guru-guru yang akan menganggur.
Namun di lain pihak apabila fasilitas tidak terpenuhi atau kurang maka
akan menimbulkan hambataan belajar sehingga kurang optimalnya proses belajar
siswa. Hal ini juga akan berdampak pada ekonomi Inggris di masa mendatang.
Ø Teacher education for tomorrow
Pendidikan
guru juga merupakan masalah yang harus diperhatikan.Sistem dan metode
pengajaran hendaknya dapat memenuhi permintaan masyarakat yang menginginkan
hasil yang bagus.Untuk menangani masalah tersebut, pendidikan profesi keguruan
di Inggris dipersiapkan secara matang selama 4 tahun.Melalui pendidikan
tersebut, guru diharapkan dapat menjelaskan tentang kenyataan hidup dalam
masyarakat plural yang multirasial dan multikultural.
3. Finlandia
Pendidikan di
Finlandia
dikenal sebagai sistem pendidikan terbaik di seluruh dunia. Sejak hasil ujian
internasional Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) keluar pada tahun 2000, Finlandia mendapat perhatian khusus dari seluruh
dunia. Remaja Finlandia berhasil menempati peringkat pertama bersama dengan Korea
Selatan
dan Jepang. Pada hasil tersebut, Finlandia menempati
peringkat pertama di Literasi Membaca, keempat di Matematika, dan ketiga di Ilmu Alam. Pendidikan berkualitas tersebut bergantung
banyak pada kualitas jajaran pendidiknya yang diberikan kebebasan penuh dalam
meramu kurikulum dan menentukan metode dan materi
belajar-mengajar. Keberhasilan tersebut telah menarik sekitar 100 delegasi dari 40-45 negara di seluruh dunia untuk
mengunjungi Kementerian Pendidikan Finlandia pada masa 2005-2011 dan
mempelajari kunci sukses sistem pendidikan disana. Finlandia juga telah
melakukan ekspor sistem pendidikannya ke negara-negara lain
Sistem
pendidikan di Finlandia tidak memberlakukan pemeringkatan
institusi pendidikan dan merupakan sistem inklusif dimana semua siswa dianggap setara
dalam haknya untuk mendapatkan pendidikan. Karenanya, tidak ada pembagian kelas
menurut kompetensi akademis maupun bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Tahun
pelajaran sekolah dimulai pada bulan Agustus dan berakhir di bulan Juni dengan
total 190 hari sekolah. Murid bersekolah lima hari dalam seminggu dengan jumlah
pelajaran berkisar antara 19-30 per minggunya, tergantung dari tingkat
pembelajaran serta jumlah kelas pilihan yang diambil.
Pendanaan
pendidikan di Finlandia sangat didukung pemerintah dimana
dana swasta dan perorangan sangat rendah; hanya
4,1% dari total pengeluaran operasional pendidikan secara nasional pada tahun
2011. Angka ini jauh lebih rendah daripada rata-rata negara-negara OECD yang berada pada tingkat 32%. Budget pemerintah Finlandia untuk pos pendidikan per siswa adalah
EUR 16.714 pada tahun 2011, lebih tinggi 23% daripada budget
rata-rata negara-negara OECD.[5] Mayoritas pemerintah daerah juga
memiliki otoritas untuk menentukan sekolah bagi setiap
siswa yang berada dalam wilayahnya, biasanya sekolah terdekat rumah
masing-masing siswa.
b.
System
pendidikan dinegara berkembang
Negara
berkembang memiliki berbagai masalah pendidikan yang semakinkompleks. Yang
dimaksud kompleks adalah karena dari segi ekonomi danteknologi, negara yang
berkembang memang ketinggalan. Dengan berbagai ketertinggalannya tersebut
mengakibatkan masalah yang timbul di dunia pendidikan pun semakin kompleks.
Sebagai contoh negara berkembang yang mengalami persoalan-persoalan
pendidikan adalah Indonesia dan Malaysia
1. Indonesia
Pelaksanaan pendidikan nasional
berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
a) Pendidikan
Dasar
Pendidikan dasar merupakan jenjang
pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Setiap warga negara yang
berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar bagi
setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun pada jenjang pendidikan dasar
tanpa memungut biaya. Pendidikan dasar berbentuk:
Ø Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah
Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat; serta
Ø Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
b) Pendidikan
Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
Pendidikan menengah terdiri atas: Pendidikan menengah umum, dan Pendidikan
menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk:
Ø
Sekolah Menengah Atas (SMA)
Ø
Madrasah Aliyah (MA)
Ø
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
Ø
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau
bentuk lain yang sederajat.
c) Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana,
magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
Perguruan tinggi dapat berbentuk:
Ø Akademi
Ø Politeknik
Ø Sekolah Tinggi
Ø Institut
Ø Universitas.
Universitas berkewajiban menyelenggarakan pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.Perguruan tinggi dapat
menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
Sektor pendidikan dan kurangnya
kesadaran akan pentingnya sebuah pendidikan dalam memajukan sebuah peradaban.
Pendidikan guru adalah salah satu
pusat syaraf dari pendidkan. Di Indonesia terdapat kekurangan guru yang parah
menurut ukuran baratdan kelas-kelas besar membutuhkan teknik mengajar yang
berbeda. Namun kebanyakan dari para guru itu sendiri mendapat sekali pendidikan
dan boleh dikatakan hampir tidak memperoleh latihan. Jadi tugas pertama adalah
yang menaikan tingkat pendidikan guru-guru yang ada dan berusaha memberi mereka
latihan kerja. Ditingkatkan statusnya, untuk meningkatkan status guru, mereka
harus menaikan gajinya, namunkenyataannya mereka terlalu miskin untuk itu.
Pendidkan guru, merupakan tugas
utama bagi negar-negara yang sedang berkembang guna mengembangkan sistem
pendidikan yang pada umunya mereka terima dari warisan pejajah mereka. Tanpa
pendidikan guru, maka struktur pendidkan secara barat mungkin hancur.Namun
untukmemperoleh latihan-latihan mengajar atas dasar yang kuat, diperlukan suatu
reorganisasi yang radikal.
2. Malaysia
Visi dan misi utama pemerintah Malaysia
adalah menjadikan negerinya sebagai pusat pendidikan berkualitas dan siap
bersaing dengan lembaga pendidikan tingi di negeri lain. Pendidikan merupakan
tanggung jawab pemerintah federal.Sistem pendidikan nasional meliputi
pendidikan pra sekolah, sekolah dasar, dan menengah, berada di bawah yurisdiksi
Kementerian Pendidikan.Sedangkan pendidikan tinggi merupakan tanggung jawab
Kementerian Pendidikan Tinggi.Semua bentuk penyelenggaraan pendidikan
didasarkan pada visi dan misi.
a) Sistem Pendidikan
Terdapat empat tingkat perjenjangan sekolah.Sekolah rendah
selama 6 tahun, lulusannya dapat diterima tanpa ujian di sekolah menengah
komprehensif selama 3 tahun.Pada tingkat sekolah menengah diadakan ujian umum
yang dilakukan dengan bahasa Melayu dan Inggris.Pada akhir sekolah menengah
komprehensif baru diadakan ujian.Setara dengan sekolah menengah komprehensif
ini adalah sekolah menengah rendah, lalu melanjutkan ke menengah atas,
masing-masing 3 tahun.Selanjutnya, pendidikan akademik atau teknis selama 2 tahun.Lulus
dari sini dapat mencari pekerjaan atau meneruskan pendidikan ke sekolah purna
komprehensif selama 2 tahun lagi, yang terdiri atas kelompok akademis dan
kejuruan.
Kelompok akademis dibagi dalam aliran kesenian, sains,
pertanian, teknik, perdagangan, dan kerumahtanggaan.Adapun kelompok kejuruan
terdiri atas berbagai aliran dagang dan kejuruan.Pada akhir pendidikannya,
mereka mengambil sertifikat Cambridge Seberang Lautan.Yang ingin melanjutkan
pelajarannya harus melakukan ujian untuk pendidikan purna sekolah menengah
selama 2 tahun.Bila mereka telah selesai, maka dianggap telah siap menempuh
ujian sertifikasi sekolah Cmabridge.Dari lulusan ini universitas menyeleksi
mahasiswanya. Kalau diterima, berarti ia telah masuk ke jenjang pendidikan
tinggi.Organisai pendidikan di pusat, terdiri atas menteri pendidikan.
Kementerian yang dikepalai oleh sekretaris tetap pendidikan bertangggung jawab
langsung untuk pendidikan sekolah menengah dan purna sekolah menengah, sekolah
teknik dan pengawasan grant atau pemberian dana kepada negara-negara bagian.
Pada dekade 1990-an, Malaysia mengadakan perubahan kebijakan pendidikannya
secara berarti, diantaranya sebagai berikut :
Ø Memperkenalkan pendidikan
persekolahan dalam sekolah rendah.
Ø Mengurangi tahun lama sekolah rendah,
dari 6 tahun menajdi 5 tahun bagi murid yang cerdas dan sebaliknya, menambah
tahun lama sekolah menjadi 7 tahun bagi murid yang lambat.
Ø Memberikan peluang pendidikan kepada
semua pelajar dengan melanjutkan waktu belajar mereka dari 9 hingga 12 tahun,
yaitu sampai tingkat 5 di peringkat sekolah menengah.
Ø Mengutamakan pendidikan teknologi
dengan tujuan melahirkan pelajar yang mahir dalam bidang seni perusahaan,
perdagangan dan ekonomi.
Ø Mengubah sistem pemeriksaan
SRP kepadapenilaian menengah rendah (PMR).
Setidaknya
ada tiga masalah, yaitu:
1) Peningkatan pendidikan guru
Banyak negara-negara di Asia, Afrika
dan Amerika Latin yang kekurangan guru. Sebagian besar dari guru-guru tersebut
kurang memiliki kompetensi yang memadai sebagai guru yang professional sehingga
peningkatan melalui pendidikan dan pelatihan guru merupakan tugas utama negara
berkembang.
2) Sistem tradisional yang ditinggalkan
Negara-negara berkembang biasanya
memiliki kebudayaan yang menjadi produk unggulannya.Namun seiring perkembang
zaman kebudayaan tersebut mulai diabaikan dan beralih ke sektor modern.
Pengabaian kebudayaan tersebut justru akan semakin menjatuhkan pendidikan,
sehingga isu menipisnya karakter siswa mencuat akhir-akhir ini.
3) Sistem sekolah yang banyak
meng-impor dari luar negeri
Beberapa negara berkembang terutama
negara jajahan mewarisi model pendidikan para penjajahnya.Hal ini terjadi di
beberapa negara-negara Afrika dan Asia, yang mengadopsi model-model pendidikan
seperti Perancis dan Inggris.
c.
Peperbedaan
ndidikan Negara maju dan Negara berkembang
Negara-negara di dunia selalu
berupaya untuk memajukan negaranya melalui sistem pendidikan.Namun usaha
tersebut bukanlah tidak mengalami hambatan.Hambatan tersebut tidak hanya di
alami oleh negara-negara yang sedang berkembang namun juga negara-negara yang
notabene sudah maju seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Masalah yang di alami oleh sebagian
negara maju antara lain, persoalan transisi, pemerataan, pendidikan guru serta
keefektivan penambahan fasilitas. Amerika Serikat sebagai negara super power
juga mengalami masalah pendidikan terutama pendidikan di perguruan tinggi yang
semakin mahal..
Sedangkan dari Negara yang
berkembang terjadi permasalahan pendidikan yang lebih kompleks.Sebagian besar
permasalahan pendidikan yang terjadi di negara berkembang disebabkan oleh
faktor ekonomi.Hal ini terlihat banyaknya siswa tidak melanjutkan
pendidikannya. Selain itu, kurangnya dana juga menyebabkan kurang tersedianya
sarana prasarana serta teknologi yang memadai.
Peningkatan kualitas guru merupakan
masalah utama yang harus dibenahi oleh negara-negara berkembang.Pendidikan dan
pelatihan menjadi guru profesional menjadi sangat penting bagi negara-negara
berkembang.Hal ini dikarenakan guru merupakan ujung tombak sistem pendidikan.
Jika dicermati ada beberapa
persamaan permasalahan yang terjadi antara negara maju dengan negara
berkembang.Contohnya, masalah peningkatan guru.Setiap negara menyadari bahwa
guru merupakan sosok penting dalam dunia pendidikan sehingga perlu adanya usaha
peningkatan kualitas guru.Baik negara maju maupun berkembang sedang berupaya
untuk selalu meningkatkan kualitas guru agar pendidikan semakin maju.
B. PERMASALAHAN
PNDIDIKAN DI INDONESIA
Indonesia semakin hari kualitasnya
makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan
di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10
dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada
level 14 dari 14 negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya
para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan
kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki
siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah
dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya
memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak
kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan
yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu
harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para
pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan
pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih
parah lagi, pendidikan tidak mampu
menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta
dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya
pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri,
padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan.
Berdasarkan analisa dari badan pendidikan
dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari
14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri
agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu.
Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42
negara berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada
diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak
serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.
1.
Masalah
pendidikan di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten
terhadap bidang pendidikan akan menyadari
bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini
masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang
“sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang
seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya
seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan
tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem
pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan
“manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan
yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang
seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang
merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi
adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang
sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai
macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat
dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan
seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid.
Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan
“siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam
pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara
kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama
seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi
sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut
pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak
lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau
kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika
Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para
peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru
sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis
apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang
diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari
guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan,
pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang
disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai
subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan
ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan
bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan
merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya
berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan
pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi
kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai
objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru
bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari
akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah
sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal
yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan
di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini
telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang
ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud
anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak
kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk
membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya
sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan
situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan
menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
a). Kualitas Pendidikan di Indonesia
Ø
Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk
sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang
gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku
perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian
teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah
yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki
laboratorium dan sebagainya.
Ø Rendahnya
Kualitas Guru
Keadaan
guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut
dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan
pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati
secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas
mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di
Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah
masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan
profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia
relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa,
angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12.
Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung
kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru,
dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak
kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga
mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila
diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan
minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan
kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar
(under quality).
Hal
itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun
mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan
disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari
separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50
persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi
kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara
seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti
kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan
kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para
siswanya.
Walaupun
guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik
sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai
cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas
guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat
kesejahteraan guru.
Ø Rendahnya
Kesejahteraan Guru
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah,
terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang
mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek,
pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan
adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak
lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam
pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai,
antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan
profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas.
Tapi,
kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang
muncul. Di lingkungan pendidikan swasta,
masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran
Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten
tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU
Guru dan Dosen.
Ø Rendahnya
prestasi siswa
Dengan keadaan yang demikian itu
(rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi
siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan
matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends
in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya
berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di
ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi
siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga
yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September
2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah
mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh
dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam
laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara.
Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada
jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut
Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the
Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa
keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah.
Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura),
65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya
mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali
menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin
karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third
International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999)
memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2
Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam
dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia
Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas
terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan
ke-75.
Ø
Kurangnya Pemerataan Kesempatan
Pendidikan
Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada
tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan
Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan
Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4%
(28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka
Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih
rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan
sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat
untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
Ø Rendahnya
Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal
tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS
(1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka
yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja
cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan
yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap
tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan
hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya
ketidakserasian antara hasil pendidikan dan
kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional
terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia
kerja.
Ø
Mahalnya Biaya Pendidikan
bermutu itu mahal. Kalimat ini
sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan
masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman
Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak
memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh
sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini
dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di
atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada
realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena
itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang
merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses
atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala
pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada
tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi
pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala
Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala
Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab
negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan
adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU
BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik
publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis
amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat
melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan
warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi
Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan
MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan
yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya
peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan
kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia
sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong
privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang
menyerap pendanaan besar seperti pendidikan
menjadi korban. Dana pendidikan terpotong
hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang
dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan
dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN
(www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan
dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP
tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan
itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu
disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan
formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah
dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for
Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan
privatisasi pendidikan berarti Pemerintah
telah melegitimasi komersialisasi pendidikan
dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan
ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan
sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan.
Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat
semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat
ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan
merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh
negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah
berencana memprivatisasi pendidikan. Semua
satuan pendidikan kelak akan menjadi badan
hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari
sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD
hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa
PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu
menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan
bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman,
Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan
tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara
ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin
murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa
yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk
menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan
dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan
bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi
Pemerintah untuk cuci tangan.
2.
Cara
penyelesaian permasalahan pedidikan di Indonesia
Untuk
mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya
kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis
besar ada dua solusi yaitu:
Ø Solusi sistemik, yakni solusi dengan
mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi
yang diterapkan. Sistem pendidikan di
Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme
(mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan
tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Ø Solusi teknis, yakni solusi yang
menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan.
Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi
siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis
dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan
membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan
kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat
peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan
sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi
tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia
dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan
generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan
bermartabat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan merupakan gejala universal dan berlangsung
sepanjang hayat manusia, tidak berhenti hingga individu menjadi dewasa.
Pendidikan dapat berlangsung dimanapun, kapanpun, dan untuk sipapun. Pendidikan
sepanjang hayat adalah sebuah sistem konsep-konsep pendidikan yang menerangkan
keseluruhan peristiwa-peristiwa kegiatan belajar mengajar yang berlangsung
dalam keseluruhan kehidupan manusia. Konsep pendidikan sepanjang hayat suatu
asas bahwa pendidikan adalah suatu proses terus-menerus, dikarenakan pendidikan
sangat penting untuk pendidikan manusia untuk kelangsungan hidup, dan supaya
dapat tetap hidup secara wajar dalam lingkungan masysrakat yang selalu berubah
agar dapat meraih keadaan kehidupan yang lebih baik. Konsep pendidikan
sepanjang hayat juga sesuai dengan konsep Islam seperti yang tercantum dalam
hadits Nabi Muhammad SAW., yang menganjurkan belajar mulai dari buaian sampai
ke liang lahat.
Banyak
sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan
di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya
kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan,
rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan
kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang
menjadi masalah mendasar dari pendidikan di
Indonesia adalah sistem pendidikan di
Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia
yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi
kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah
dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan
di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar