Arsip Blog

Kamis, 06 Desember 2018

PENDIDIKAN SEPANJANG HAYAT DAN PERMASALAHAN PENDIDIKAN

Makalah

PENDIDIKAN SEPANJANG HAYAT DAN PERMASALAHAN PENDIDIKAN
DISUSUN
OLEH

MAHRIFAT ISMAIL
451417011
KELAS A

PRODI PENDIDIKAN GEOGRAFI
JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
FAKULTAS MATEMATIKA DAN IPA
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2017


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………….
KATA PENGANTAR……………………………………………………..
DAFTAR ISI………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………
A.   Latar belakang…………………………………………..
B.   Rumusan masalah………………………………………
C.   Tujuan penulisa…………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………..
A.   Pendidikan sepanjang hayat…………………………………..


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar belakang
Pendidikan pada dasarnya adalah proses komunikasi yang didalamnya mengandung transformasi pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan-ketrampilan, di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung sepanjang hayat, dari generasi ke generasi (Dwi Siswoyo, 2008: 25). Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa hampir dari seluruh kegiatan manusia yang bersifat positif dapat dianggap bahwa mereka telah melakukan proses pendidikan. Tujuan pendidikan secara luas antara lain adalah untuk meningkatkan kecerdasan, membentuk manusia yang berkualitas, terampil, mandiri, inovatif, dan dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Oleh karena itu, pendidikan sangat diperlukan oleh manusia untuk dapat melangsungkan kehidupan sebagai makhluk individu, sosial dan beragama. Di sinilah peran lembaga pendidikan baik formal maupun non formal untuk membantu masyarakat dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang telah disampaikan di atas, melalui pendidikan sepanjang hayat manusia diharapkan mampu menjadi manusia yang terdidik.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.
B.   Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pendidikan sepanjang hayat?
2.      Apa perbedaan pendidikan dinegara berkembang dengan di Negara maju?
3.      Apa saja permasalahan pendidikan di Indonesia?
4.      Bagaimana cara penyelesaian permasalahan pendidikan di Indonesia?

C.   Tujuan penulisan
1.      Agar mahasiswa dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan pendidikan sepanjang hayat
2.      Agar mahasiswa dapat mengetahui perbedaan system pendidikan yang ada dinegara berkembang dengan pendidikan dinegara maju
3.      Agar mahasiswa dapat mengetahui permasalahan pendidikan yang ada di Indonesia
4.      Agar mahasiswa dapat mengetahui cara penyelesaian masalah pendidikan yang ada di Indonesia


BAB II
PEMBAHASAN

A.     PENDIDIKAN SEPANJANG HAYAT
Pendidikan  sepanjang hayat (life long education) adalah sebuah sistem pendidikan yang dilakukan oleh manusia ketika lahir sampai meninggal dunia. Pendidikan sepanjang hayat merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi. Dimana tahap-tahap pelaksanaannya adalah harus ada : motivasi, perhatian dan pelajaran, menerima dan mengingat, reproduksi, generalisasi, menerapkan apa yang telah diajarkan serta umpan balik. Dimana pendidikan sepanjang hayat ini juga akan mampu membentuk kemandirian dari seseorang, salah satunya dengan pendidikan non formal, yang mampu membangkitkan daya pikir, berbuat positif dari, oleh dan untuk dirinya sendiri serta lingkungan. Dalam upaya memajukan pendidikan di Indonesia UNESCO mengeluarkan empat pilar yang dapat menopang pendidikan yang ada di Indonesia ini. Keempat pilar tersebut adalah learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Dimana Untuk mengimplementasikan “learning to know” (belajar untuk mengetahui), Guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog bagi siswanya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa.
Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar seyogjanya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” (belajar untuk melakukan sesuatu) dapat terealisasi. Walau sesungguhnya bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama bahwa keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan semata.
Pilar ketiga yang dicanangkan Unesco adalah “learning to be” (belajar untuk menjadi seseorang). Hal ini erat sekali kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Misal : bagi siswa yang agresif, akan menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan sebaliknya bagi siswa yang pasif, peran guru sebagai kompas penunjuk arah sekaligus menjadi fasilitator sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan potensi diri siswa secara utuh dan maksimal.
Terjadinya proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama), pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama. Dengan melakukan empat pilar yang telah dikeluarkan oleh UNESCO, untuk itu semua pendidikan di Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia. Mengarah ke point ketiga, “Learning To Be belajar untuk menjadi seseorang. Hal ini sangat berkaitan dengan bakat dan minat yang dimiliki seseorang. Jika seseorang memiliki bakat yang lebih, dalam suatu bidang tidak akan mampu berkembang apabila tanpa ada dukungan dan fasilitas baik dari guru itu sendiri dan pengaruh lingkungan luar. Ini dimaksudkan agar seorang siswa mampu mewujudkan dan mengembangkan bakatnya sesuai dengan harapannya. Jadi tanpa peranan guru sebagai fasilitator maka pilar ketiga yang dicetuskan UNESCO tidak akan terlaksana dengan baik. Begitu juga dengan poin yang keempat “Learning to Live Together” belajar untuk menjalani kehidupan bersama. Maksud dari point keempat ini adalah bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang aman tentram, dan saling menghargai antar agama, suku, ras, dan budaya dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini toleransi antar sesama manusia sangat diperlukan, karena umat manusia itu ditakdirkan untuk menjalani kehidupan bersama-sama dan tidak dapat menjalani kehidupan itu sendiri.

1.     Pengertian pendidikan sepanjang hayat
Pendidikan  sepanjang hayat (life long education) adalah sebuah sistem pendidikan yang dilakukann oleh manusia ketika lahir sampai meninggal dunia. Pendidikan sepanjang hayat merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi. Melalui pendidikan sepanjang hayat, manusia selalu belajar melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau pengalaman yang telah dialami. Konsep pendidikan sepanjang hayat tidak mengenal batas usia, semua manusia baik yang masih kecil hingga lanjut usia tetap bisa menjadi peserta didik, karena cara belajar sepanjang hayat dapat dilakukan dimanapun, kapanpun, dan oleh siapapun.
Menurut pendapat Sudjana (2001: 217-218) pendidikan sepanjang hayat harus didasarkan atas prinsip-prinsip pendidikan di bawah ini :
a.            Pendidikan hanya akan berakhir apabila manusia telah meninggal dunia.
b.            Pendidikan sepanjang hayat merupakan motivasi yang kuat bagi peserta didik untuk merencanakan dan melakukan kegiatan belajar secara terorganisi dan sistimatis.
c.            Kegiatan belajar bertujuan untuk mempeoleh, memperbaharui, dan meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang telah dimiliki.
d.           Pendidikan memiliki tujuan-tujuan berangkai dalam memenuhi kebutuhan belajar dan dalam mengembangkan kepuasan diri setiap manusia yang melakukan kegiatan belajar.
e.            Perolehan pendidikan merupakan prasyarat bagi perkembangan kehidupan manusia, baik untuk meningkatkan kemampuannya, agar manusia selalu melakukan kegiatan belajar guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

2.     Wadah pendidikan sepanjang hayat
Pendidikan sepanjang hayat berwadahkan disemua lembaga pendidikan, sumber-sumber informasi, sesuai dengan kepentingan perorangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Philips H. combs mengklasifikasikan pendidikan kedalam tiga bagian :

a.      Pendidukan informal (pendidikan luar sekolah yang tidak di lembagaan)
Pendidikan luar sekolah yang tidak dilembagaan adalah proses pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak, pada umumnya tidak teratur dan tidak sistematis, sejak orang lahir sampai mati. Seperti di dalam keluarga, tetangga, pekerjaan, hiburan, pasar, atau dalam pergaulan sehari-hari, dll.

b.      pendidikan sekolah
Pendidikan sekolah adalah pendidikan di sekolah, yang teratur, sistematis, mempunyai jenjang dan yang di bagi dalam waktu-waktu tertentu yang berlangsung dari taman kanak kanak sampai perguruan tinggi.

c.       Pendidikan luar sekolah yang dilembagaan
Pendidikan luar sekolah yang dilembagakan adalah semua bentuk  pendidikan yang yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib, terarah dan berencana di luar kegiatan  persekolahan. Dalam hal ini, tentang pelajar , fasilitas, cara penyampaian, dan waktu yang dipakai, serta komponen-komponen lainnya disesuaikan dengan keadaan peserta, atau didik supaya mendapatkan hasil yang memuaskan.

3.     Ragam pendidikan sepanjang hayat
a.         Pendidikan untuk mempertahankan pemenuhan kebutuhan pokok dalam hidup.
b.         Pendidikan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan bidang pekerjaan.
c.         Pendidikan untuk mengembangkan diri.
d.        Pendidikan untuk pemenuhan kebutuhan mental dan rekreasional.
4.     Perbedaan pendidikan dinegara maju dengan dinegara berkembang
a.         System pendidikan dinegara maju
1.      Amerika serikat (US)
Karakteristik utama sistem pendidikan Amerika Serikat adalah berkarakter desentralisasi. Pemerintah federal, negara bagian, dan pemerintah daerah memiliki aturan dan tanggung jawab administrai masing-masing yang sangat jelas. Amerika Serikat tidak mempunyai sistem pendidikan yang terpusat atau yang bersifat nasional. Namun bukan berarti pemerintah federal tidak memberikan arah dan pengaruhnya terhadap masalah pendidikan. Badan Legislatif, Judikatif dan Eksekutif fedaral sangat aktif dalam proses pembuatan keputusan mengenai pendidikan.
Pengangkatan guru adalah wewenang pemerintah negara bagian. Masing- masing negara bagian mempunyai ketentuan sendiri mengenai persyaratan untuk memperoleh sertifikat mengajar. Ada negara bagian yang meminta persyaratan mengajar, seperti menguasai tentang penyuluhan narkoba, menguasai bidang komputer dan sebagainya. Ada pula negara bagian yang memberikan sertifikat mengajar untuk lulusan sarjana (S.1), tahap sertifikat ke dua untuk lulusan Magister (S.2). Kemudian memberikan ujian tertulis dan praktek mengajar sebagai syarat pengangatan guru. Negara bagian juga mengeluarkan sertifikat untuk staf administrasi sekolah-kepala sekolah dan kakanwilpendidik.
Tentang kurikulum dan metodologi pengajaran di Amerika Serikat, pemikir pendidik selalu mengembangkan inovasi baru. Maka muncullah kurikulum terintegrasi (integrated curriculum), metode mengajar yag berpusat pada siswa (student centered teaching method), pengajaran atas dasar kemampuan dan minat individu (individualized instruction), dan sekolah alternatif.
Amerika Serikat adalah negara adikuasa dari beberapa aspek. Pendidikan di Amerika Serikat pun juga tergolong maju. Terbukti banyak universitas dan perguruan tinggi di AS yang menjadi tujuan favorit untuk melanjutkan studi. Universitas itu antara lain UCLA, Boston College, Yale University, Harvard University dan lain-lain.
Namun pendidikan di Amerika Serikat juga tidak terlepas dari masalah. Washington Post pada tahun 2011 mengemukakan ada dua problem yang terjadi pada pendidikan di Amerika Serikat. Pertama, sesuai laporan dari Organization of Economic Cooperation and Development (OECD), menunjukkan adanya penurunan tingkat lulusan pemuda dewasa pada perguruan tinggi. Sedangkan yang kedua adalah meningkatnya jumlah pinjaman para mahasiswa yang melebihi batas tempo.
Menurut Dr. James M. Lindsay, ada beberapa sebab yang menjadikan turunnya tingkat kelulusan di perguruan tinggi serta meningkatnya jumlah pinjaman yang dilakukan oleh mahasiswa. Salah satu penyebabnya adalah semakin meningkatnya biaya pendidikan di perguruan tinggi. Banyak mahasiswa yang membiayai kuliah dengan mengandalkan pinjaman sebagai investasi dalam bentuk human capital. Namun apabila jumlah pinjaman tersebut meningkat tajam serta banyak yang habis jatuh temponya maka juga akan menjadi masalah.

2.      Inggris (UK)
a)      Sistem Pendidikan di Inggris
Inggris dikenal dengan standar pendidikannya yang tinggi, sistem pendidikan Inggris telah banyak mempengaruhi banyak negara dan adalah rumah untuk beberapa universitas terkenal.  
b)      Sekolah Dasar
Pendidikan wajib di Inggris dimulai dari usia 5 tahun dengan sekolah dasar. Siswa naik dari kelas 1 sampai 6 tanpa ujian, meskipun kemampuan mereka diuji di usia 7 tahun. Penekanan ada pada belajar secara praktikal dibandingkan menghafal.  Siswa belajar mata pelajaran inti seperti Inggris, matematika dan sains, juga pelajaran dasar seperti sejarah, geografi, musik, seni dan olahraga.
c)      Sekolah Menengah Atas 
Siswa memulai sekolah menengah pada usia 11 tahun, dimana menjadi kewajiban untuk lima tahun berikutnya. Di setiap jenjangnya, siswa memperdalam pengetahuan mereka pada mata pelajaran inti dan ditambah setidaknya 1 bahasa asing.Di tahun ke-4, mereka mulai bersiap untuk mengikuti ujian-ujian yang disebut General Certificate of Secondary Education atau GCSE. Siswa akan diuji di 9 atau 10 topik GCSE yang mereka pilih.
Setelah menyelesaikan ujian GCSE, siswa sekolah menengah dapat meninggalkan sekolah untuk bekerja, mengikuti program training di sekolah kejuruan atau teknik, atau melanjutkan 2  tahun lagi untuk menyiapkan diri bagi ujian masuk universitas, yang dikenal dengan "A-Levels." Secara umum, siswa yang ingin masuk ke universitas akan belajar 3-4 subyek untuk ujian A-Levels. Ini kerap dilakukan di sekolah yang dinamakan Sixth Form Colleges.Makin tinggi nilai ujian A-Levels, makin baik peluang siswa untuk masuk ke universitas pilihannya.
d)     Program Sarjana 
Ditingkat sarjana, siswa di Inggris dapat memilih jurusan "art" dan "sciences".Program biasanya berlangsung selama tiga tahun dimana selama itu siswa menyelesaikan pelajaran dan tutorial di bidang masing-masing. Siswa yang akan lulus biasanya harus mengikuti ujian akhir. Syarat penerimaan bagi siswa internasional termasuk kefasihan bahasa Inggris (min IELTS 6.0), tambahan 1 tahun sekolah menengah, dikenal dengan University Foundation Year atau nilai A-Level.
e)      Pasca Sarjana atau PhD 
Pelajaran universitas dapat diteruskan ke tingkat pasca sarjana.Gelas pasca sarjana tradisional biasanya dibidang "Arts" (MA) atau "Sciences" (MSc). Gelar pasca sarjana yang makin populer adalah Masters in Business Administraion (MBA). Program Master berlangsung selama satu sampai dua tahun dan mengharuskan ujian dan tesis untuk syarat kelulusan. Bagi program tertentu, pengalaman dibidang riset dan bekerja dibutuhkan untuk mengikuti program doktoral, atau PhD, yang dapat berlangsung selama empat atau lima tahun di sekolah dan riset serta disertasi.
Ada beberapa masalah pendidikan di Inggris yang cukup mendapatkan perhatian dari kalangan pemerhati pendidikan di sana. Persatuan Guru Nasional Inggris dan Walesmengemukakan ada beberapa masalah kependidikan yang dihadapi oleh pendidikan Inggris. Masalah-masalah tersebut antara lain :
Ø  The relationship between education and employment and preparation for the transition from school to work.
Masyarakat Inggris berpandangan bahwa tugas pokok sekolah adalah membantu siswa memecahkan masalah.Termasuk di dalamnya yaitu membantu siswa memecahkan masalah transisi dari sekolah menuju dunia kerja.Masyarakat Inggris menghendaki adanya fungsi nyata dari lulusan suatu sekolah dalam arti bagaimana lulusan tersebut dapat didayagunakan dalam dunia kerja.Mereka menginginkan adanya hubungan antara lingkungan pendidikan dengan dunia kerja.Oleh karenanya, sekolah diharapkan dapat menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan, holding company dan sebagainya.
Ø  A commitment to life-longeducation
Pendidikan di Inggris tengah berupaya agar prinsip pendidikan sepanjang hayat (long life education) dapat terlaksana.Upaya ini dilakukan agar mereka yang sudah berusia lanjut juga terus mendapatkan pendidikan. Hal ini dikarenakan ada sebagian orang-orang lanjut usia yang pada masa kanak-kanaknya kurang mengenyam pendidikan. Dengan adanya usaha ini diharapkan adanya pemerataan pendidikan baik muda maupun tua sesuai dengan prinsip long life education.
Ø  The expansion of educational facilities
Salah satu resiko dari pengembangan sarana pendidikan adalah biaya yang dikeluarkan akan semakin banyak. Apalagi di era arus informasi dan teknologi yang semakin hari semakin berkembang dengan cepat sehingga membutuhkan sarana pendidikan yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.Hal ini agar pendidikan Inggris tidak ketinggalan zaman.
Dampak dari pengembangan sarana pendidikan berteknologi tinggi,  akan mengurangi tenaga kerja guru itu sendiri. Akibatnya banyak guru-guru yang akan menganggur. Namun  di lain pihak apabila fasilitas tidak terpenuhi atau kurang maka akan menimbulkan hambataan belajar sehingga kurang optimalnya proses belajar siswa. Hal ini juga akan berdampak pada ekonomi Inggris di masa mendatang.
Ø  Teacher education for tomorrow
Pendidikan guru juga merupakan masalah yang harus diperhatikan.Sistem dan metode pengajaran hendaknya dapat memenuhi permintaan masyarakat yang menginginkan hasil yang bagus.Untuk menangani masalah tersebut, pendidikan profesi keguruan di Inggris dipersiapkan secara matang selama 4 tahun.Melalui pendidikan tersebut, guru diharapkan dapat menjelaskan tentang kenyataan hidup dalam masyarakat plural yang multirasial dan multikultural. 

3.      Finlandia
Pendidikan di Finlandia dikenal sebagai sistem pendidikan terbaik di seluruh dunia. Sejak hasil ujian internasional Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) keluar pada tahun 2000, Finlandia mendapat perhatian khusus dari seluruh dunia. Remaja Finlandia berhasil menempati peringkat pertama bersama dengan Korea Selatan dan Jepang. Pada hasil tersebut, Finlandia menempati peringkat pertama di Literasi Membaca, keempat di Matematika, dan ketiga di Ilmu Alam. Pendidikan berkualitas tersebut bergantung banyak pada kualitas jajaran pendidiknya yang diberikan kebebasan penuh dalam meramu kurikulum dan menentukan metode dan materi belajar-mengajar. Keberhasilan tersebut telah menarik sekitar 100 delegasi dari 40-45 negara di seluruh dunia untuk mengunjungi Kementerian Pendidikan Finlandia pada masa 2005-2011 dan mempelajari kunci sukses sistem pendidikan disana. Finlandia juga telah melakukan ekspor sistem pendidikannya ke negara-negara lain
Sistem pendidikan di Finlandia tidak memberlakukan pemeringkatan institusi pendidikan dan merupakan sistem inklusif dimana semua siswa dianggap setara dalam haknya untuk mendapatkan pendidikan. Karenanya, tidak ada pembagian kelas menurut kompetensi akademis maupun bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Tahun pelajaran sekolah dimulai pada bulan Agustus dan berakhir di bulan Juni dengan total 190 hari sekolah. Murid bersekolah lima hari dalam seminggu dengan jumlah pelajaran berkisar antara 19-30 per minggunya, tergantung dari tingkat pembelajaran serta jumlah kelas pilihan yang diambil.
Pendanaan pendidikan di Finlandia sangat didukung pemerintah dimana dana swasta dan perorangan sangat rendah; hanya 4,1% dari total pengeluaran operasional pendidikan secara nasional pada tahun 2011. Angka ini jauh lebih rendah daripada rata-rata negara-negara OECD yang berada pada tingkat 32%. Budget pemerintah Finlandia untuk pos pendidikan per siswa adalah EUR 16.714 pada tahun 2011, lebih tinggi 23% daripada budget rata-rata negara-negara OECD.[5] Mayoritas pemerintah daerah juga memiliki otoritas untuk menentukan sekolah bagi setiap siswa yang berada dalam wilayahnya, biasanya sekolah terdekat rumah masing-masing siswa.
b.        System pendidikan dinegara berkembang
Negara berkembang memiliki berbagai masalah pendidikan yang semakinkompleks. Yang dimaksud kompleks adalah karena dari segi ekonomi danteknologi, negara yang berkembang memang ketinggalan. Dengan berbagai ketertinggalannya tersebut mengakibatkan masalah yang timbul di dunia pendidikan pun semakin kompleks. Sebagai contoh negara berkembang  yang mengalami persoalan-persoalan pendidikan adalah Indonesia dan Malaysia
1.      Indonesia
Pelaksanaan pendidikan nasional berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
a)      Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Pendidikan dasar berbentuk:
Ø  Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat;   serta
Ø  Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

b)      Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas: Pendidikan menengah umum, dan Pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk:
Ø   Sekolah Menengah Atas (SMA)
Ø   Madrasah Aliyah (MA)
Ø    Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
Ø    Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

c)       Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk:
Ø Akademi
Ø Politeknik
Ø  Sekolah Tinggi
Ø Institut
Ø  Universitas.
Universitas berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
Sektor pendidikan dan kurangnya kesadaran akan pentingnya sebuah pendidikan dalam memajukan sebuah peradaban.
Pendidikan guru adalah salah satu pusat syaraf dari pendidkan. Di Indonesia terdapat kekurangan guru yang parah menurut ukuran baratdan kelas-kelas besar membutuhkan teknik mengajar yang berbeda. Namun kebanyakan dari para guru itu sendiri mendapat sekali pendidikan dan boleh dikatakan hampir tidak memperoleh latihan. Jadi tugas pertama adalah yang menaikan tingkat pendidikan guru-guru yang ada dan berusaha memberi mereka latihan kerja. Ditingkatkan statusnya, untuk meningkatkan status guru, mereka harus menaikan gajinya, namunkenyataannya mereka terlalu miskin untuk itu.
Pendidkan guru, merupakan tugas utama bagi negar-negara yang sedang berkembang guna mengembangkan sistem pendidikan yang pada umunya mereka terima dari warisan pejajah mereka. Tanpa pendidikan guru, maka struktur pendidkan secara barat mungkin hancur.Namun untukmemperoleh latihan-latihan mengajar atas dasar yang kuat, diperlukan suatu reorganisasi yang radikal.

2.      Malaysia
Visi dan misi utama pemerintah Malaysia adalah menjadikan negerinya sebagai pusat pendidikan berkualitas dan siap bersaing dengan lembaga pendidikan tingi di negeri lain. Pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah federal.Sistem pendidikan nasional meliputi pendidikan pra sekolah, sekolah dasar, dan menengah, berada di bawah yurisdiksi Kementerian Pendidikan.Sedangkan pendidikan tinggi merupakan tanggung jawab Kementerian Pendidikan Tinggi.Semua bentuk penyelenggaraan pendidikan didasarkan pada visi dan misi.
a)      Sistem Pendidikan
Terdapat empat tingkat perjenjangan sekolah.Sekolah rendah selama 6 tahun, lulusannya dapat diterima tanpa ujian di sekolah menengah komprehensif selama 3 tahun.Pada tingkat sekolah menengah diadakan ujian umum yang dilakukan dengan bahasa Melayu dan Inggris.Pada akhir sekolah menengah komprehensif baru diadakan ujian.Setara dengan sekolah menengah komprehensif ini adalah sekolah menengah rendah, lalu melanjutkan ke menengah atas, masing-masing 3 tahun.Selanjutnya, pendidikan akademik atau teknis selama 2 tahun.Lulus dari sini dapat mencari pekerjaan atau meneruskan pendidikan ke sekolah purna komprehensif selama 2 tahun lagi, yang terdiri atas kelompok akademis dan kejuruan.
Kelompok akademis dibagi dalam aliran kesenian, sains, pertanian, teknik, perdagangan, dan kerumahtanggaan.Adapun kelompok kejuruan terdiri atas berbagai aliran dagang dan kejuruan.Pada akhir pendidikannya, mereka mengambil sertifikat Cambridge Seberang Lautan.Yang ingin melanjutkan pelajarannya harus melakukan ujian untuk pendidikan purna sekolah menengah selama 2 tahun.Bila mereka telah selesai, maka dianggap telah siap menempuh ujian sertifikasi sekolah Cmabridge.Dari lulusan ini universitas menyeleksi mahasiswanya. Kalau diterima, berarti ia telah masuk ke jenjang pendidikan tinggi.Organisai pendidikan di pusat, terdiri atas menteri pendidikan. Kementerian yang dikepalai oleh sekretaris tetap pendidikan bertangggung jawab langsung untuk pendidikan sekolah menengah dan purna sekolah menengah, sekolah teknik dan pengawasan grant atau pemberian dana kepada negara-negara bagian. Pada dekade 1990-an, Malaysia mengadakan perubahan kebijakan pendidikannya secara berarti, diantaranya sebagai berikut :
Ø  Memperkenalkan pendidikan persekolahan dalam sekolah rendah.
Ø  Mengurangi tahun lama sekolah rendah, dari 6 tahun menajdi 5 tahun bagi murid yang cerdas dan sebaliknya, menambah tahun lama sekolah menjadi 7 tahun bagi murid yang lambat.
Ø  Memberikan peluang pendidikan kepada semua pelajar dengan melanjutkan waktu belajar mereka dari 9 hingga 12 tahun, yaitu sampai tingkat 5 di peringkat sekolah menengah.
Ø  Mengutamakan pendidikan teknologi dengan tujuan melahirkan pelajar yang mahir dalam bidang seni perusahaan, perdagangan dan ekonomi.
Ø  Mengubah sistem pemeriksaan SRP  kepadapenilaian menengah rendah (PMR).
Setidaknya ada tiga masalah, yaitu:
1)      Peningkatan pendidikan guru
Banyak negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin yang kekurangan guru. Sebagian besar dari guru-guru tersebut kurang memiliki kompetensi yang memadai sebagai guru yang professional sehingga peningkatan melalui pendidikan dan pelatihan guru merupakan tugas utama negara berkembang.
2)      Sistem tradisional yang ditinggalkan
Negara-negara berkembang biasanya memiliki kebudayaan yang menjadi produk unggulannya.Namun seiring perkembang zaman kebudayaan tersebut mulai diabaikan dan beralih ke sektor modern. Pengabaian kebudayaan tersebut justru akan semakin menjatuhkan pendidikan, sehingga isu menipisnya  karakter siswa mencuat akhir-akhir ini.
3)      Sistem sekolah yang banyak meng-impor dari luar negeri
Beberapa negara berkembang terutama negara jajahan mewarisi model pendidikan para penjajahnya.Hal ini terjadi di beberapa negara-negara Afrika dan Asia, yang mengadopsi model-model pendidikan seperti Perancis dan Inggris.

c.       Peperbedaan ndidikan Negara maju dan Negara berkembang
Negara-negara di dunia selalu berupaya untuk memajukan negaranya melalui sistem pendidikan.Namun usaha tersebut bukanlah tidak mengalami hambatan.Hambatan tersebut tidak hanya di alami oleh negara-negara yang sedang berkembang namun juga negara-negara yang notabene sudah maju seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Masalah yang di alami oleh sebagian negara maju antara lain, persoalan transisi, pemerataan, pendidikan guru serta keefektivan penambahan fasilitas. Amerika Serikat sebagai negara super power juga mengalami masalah pendidikan terutama pendidikan di perguruan tinggi yang semakin mahal..
Sedangkan dari Negara yang berkembang terjadi permasalahan pendidikan yang lebih kompleks.Sebagian besar permasalahan pendidikan yang terjadi di negara berkembang disebabkan oleh faktor ekonomi.Hal ini terlihat banyaknya siswa tidak melanjutkan pendidikannya. Selain itu, kurangnya dana juga menyebabkan kurang tersedianya sarana prasarana serta teknologi yang memadai.
Peningkatan kualitas guru merupakan masalah utama yang harus dibenahi oleh negara-negara berkembang.Pendidikan dan pelatihan menjadi guru profesional menjadi sangat penting bagi negara-negara berkembang.Hal ini dikarenakan guru merupakan ujung tombak sistem pendidikan.
Jika dicermati ada beberapa persamaan permasalahan yang terjadi antara negara maju dengan negara berkembang.Contohnya, masalah peningkatan guru.Setiap negara menyadari bahwa guru merupakan sosok penting dalam dunia pendidikan sehingga perlu adanya usaha peningkatan kualitas guru.Baik negara maju maupun berkembang sedang berupaya untuk selalu meningkatkan kualitas guru agar pendidikan semakin maju.

B.   PERMASALAHAN PNDIDIKAN DI INDONESIA
Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.

1.      Masalah pendidikan di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
a).   Kualitas Pendidikan di Indonesia
Ø  Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

Ø  Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

Ø  Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.

Ø  Rendahnya prestasi siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

Ø  Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

Ø  Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

Ø  Mahalnya Biaya Pendidikan
bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.

2.      Cara penyelesaian permasalahan pedidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Ø  Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Ø  Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Pendidikan merupakan gejala universal dan berlangsung sepanjang hayat manusia, tidak berhenti hingga individu menjadi dewasa. Pendidikan dapat berlangsung dimanapun, kapanpun, dan untuk sipapun. Pendidikan sepanjang hayat adalah sebuah sistem konsep-konsep pendidikan yang menerangkan keseluruhan peristiwa-peristiwa kegiatan belajar mengajar yang berlangsung dalam keseluruhan kehidupan manusia. Konsep pendidikan sepanjang hayat suatu asas bahwa pendidikan adalah suatu proses terus-menerus, dikarenakan pendidikan sangat penting untuk pendidikan manusia untuk kelangsungan hidup, dan supaya dapat tetap hidup secara wajar dalam lingkungan masysrakat yang selalu berubah agar dapat meraih keadaan kehidupan yang lebih baik. Konsep pendidikan sepanjang hayat juga sesuai dengan konsep Islam seperti yang tercantum dalam hadits Nabi Muhammad SAW., yang menganjurkan belajar mulai dari buaian sampai ke liang lahat.

Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar